Terdorong Harga Minyak, Batu Bara Mulai Sensitif
Saturday, 24 June 2017 at 17:32 WIB
Pergerakan harga minyak merupakan salah satu hal penting penggerak harga komoditas batu bara, yang permintaannya diperkirakan akan terus meningkat seiriing dengan proyek yang sedang dijalankan oleh pemerintahan kita.
Kira-kira kenapa ketika minyak naik harga komoditas lainnya juga ikut naik? Lalu, sentimen apakah yang akan mampu menggerakkan sektor batu bara? Simak jawabannya :
Pada hari senin kemarin, IHSG ditutup melemah 0,47% di level 5,541.20. Pelemahan IHSG ini terutama disebabkan oleh aksi taking profit dari para trader, akibat hari raya nyepi yang jatuh pada tanggal 28 Maret kemarin.
Sementara itu, pada hari ini Dow Jones mengalami rebound dan naik signifikan dengan penguatan sebesar 0,73% ke level 20,701.50. Penguatan ini merupakan kenaikan Dow Jones yang pertama, setelah bergerak cenderung melemah dalam sepekan terakhir.
Seperti yang kita ketahui, kenaikan ataupun penurunan minyak mentah akan dapat mempengaruhi pergerakan harga-harga komoditas secara keseluruhan. Kenapa bisa begitu? Hal ini diakibatkan penggunaan minyak mentah yang dipergunakan hampir untuk seluruh alat industri pertambangan. Meningkatnya biaya operasional tambang, otomatis akan menaikkan harga komoditas barang hasil tambang tersebut.
Sehingga tidak heran ketika harga minyak melambung, harga komoditas seperti batu bara juga akan bergerak mengikutinya, dan sebaliknya. Setelah melemah menembus level US$ 50, harga minyak mentah kembali memanas akibat keputusan OPEC. Berikut ulasannya.
OPEC Picu Fluktuasi Harga Minyak Dan Komoditas Lainnya. Harga minyak mentah memanas seiring rencana OPEC dan negara produsen lainnya memperpanjang keputusan pemangkasan produksi yang sebelumnya berakhir pada Juni 2017.
Pada penutupan perdagangan Jumat kemarin, harga minyak WTI kontrak Mei 2017 berada di posisi US$ 47,97 per barel, naik 0,57%. Sepanjang tahun berjalan, harga minyak sendiri sudah melemah hingga 10,7%.
Dalam laporan bertajuk Monthly Oil Market Report (MOMR) Maret 2017, OPEC mengumumkan pengurangan produksi pada Februari 2017 turun 139.500 bph menjadi 31,95 juta bph, dari Januari 2017 sebesar 32,09 juta bph. Artinya, organisasi OPEC sudah merealisasikan kesepakatan pemangkasan produksi produksinya sebesar 1,2 juta bph menjadi 32,5 juta bph.
Namun sentimen positif tersebut terganjal upaya Amerika yang terus memacu suplai dan persediaan. Stok minyak Paman Sam dalam sepekan terakhir meningkat 4,95 juta barel menjadi 533,11 juta barel. Angka ini merupakan rekor tertinggi sejak EIA melakukan pencatatan pada Agustus 1982.
Meskipun begitu, OPEC masih mempertimbangkan untuk kembali memperpanjang masa pemotongan suplai yang sebelumnya berakhir pada Juni 2017.
Tidak jauh berbeda dengan minyak, batu bara juga akhir-akhir ini cenderung bergerak melemah. Namun, berbeda dengan minyak, batu bara memiliki beberapa sentimen yang cukup kuat jika dibandingkan dengan minyak. Hal ini dikarenakan penggunaan batu bara sebagai salah satu sumber energi untuk proyek kelistrikan.
Terutama permintaan batu bara di kawasan Asia Tenggara yang saat ini masih terus meningkat didorong oleh perkembangan proyek listrik tenaga batu bara yang diperkirakan lebih efisien dibanding energi lainnya.
Saat ini, permintaan batu bara khusus untuk kawasan Asia Tenggara saja mencapai 214 Megaton, dan diperkirakan akan terus meningkat hingga 2030 mendatang menjadi 600 Megaton. Dari Indonesia sendiri, permintaan ini akan naik lebih tinggi lagi, terkait program listrik 35 Gigawatt milik Jokowi yang diperkirakan akan rampung pada 2020 mendatang.
Hal ini tentunya akan memberikan sentimen positif untuk beberapa saham di sektor batu bara, seperti ADRO, DOID dan BUMI. Sebagai tambahan, BUMI merupakan satu-satunya saham batu bara yang masuk ke indeks LQ45 dan memiliki % kenaikan YTD tertinggi, yaitu sebesar 15,09%.
Sumber : detikcom